menu

Kamis, 28 April 2011

Cara membuka blokiran Nawala dengan menggunakan DNS publik

1. Pastikan komputer/Laptop anda sudah terkoneksi internet

2. klik kanan ikon kecil koneksi internet di sebelah kanan bawah, lalu pilih status
3. Setelah itu akan muncuk kotak status koneksi anda, lalu pilih properties


4. Kemudian pilih Networking, lalu klik 2 kali following items 'Internet Protokol(TCP/IP)


5. Setelah muncul kotak Internet Protokol Properties, Anda tinggal men-centang  'Use the following DNS server addres', kemudian isikan 'Preferred DNS Server' dengan 4 angka yaitu: 8 8 8 8
Dan pada 'Alternatife DNS Server', anda isikan 4 angka  lagi yaitu: 8 8 4 4.
Lalu klik OK 2 kali


6. Setelah itu, disconect-kan koneksi modem Anda seperti gambar di bawah ini;


7. Lalu koneksikan kembali dengan cara; Klik start - Connect to - pilihan panggilan koneksi modem Anda. seperti gambar di bawah ini.


-------------------------

Setelah connect, Modem anda tidak lagi terproteksi Nawala. Dan Anda bisa membuka situs apa saja dengan bebas tanpa blokiran.

Selamat mencoba. 
Capal






Senin, 18 April 2011

Mahasiswi berfoto bugil di kebun pak Tani, pak Tani mengamuk



Entah mimpi apa pak petani, ketika berangkat ke ladang sedikitpun tidak ada firasat apapun, namun sesampainya di ladang alangkah terkejut bukan kepalang melihat ada sekelompok anak muda melakukan kegiatan. Kekagetannya lebih menjadi setelah semakin dekat dengan tempat anak muda yang memakai ladanganya untuk melakukan kegiatan tersebut.

Pasalnya kegiatan itu adalah pengambilan foto (casting) foto telanjang alias bugil oleh beberapa mahasiswa, dimana obyeknya adalah rekan mereka mahasiswi yang saat kedapatan oleh pak petani tersebut tidak menggunakan pakaian sehelai benangpun alias polos sedang bergaya di ladang miliknya.

Akhirnya pak petani yang bernama Hu Wen dari propinsi Zhengzhou Cina bagian timur itu naik pitam dan mengamuk membubarkan kegiatan tersebut, bahkan pak petani wen inipun mengejar sang fotografer agar keluar dari lahan pertaniannya.

Menurut Harian Setempat Xiamen Daily yang dikutip ruanghati.com menyebutkan kondisi alam di wilayah tersebut memang sangat menawan dan indah, sangat cocok untuk latar belakang pengambilan foto. Merekapun melakukan sesi pemotretan bukan menggunakan foto kamera profesional melainkan hanya dengan menggunakan kamera handphone biasa, ealah masih amatiran toh. Mungkin praktek fotografi kali ya.

Presiden SBY melakukan salam NAZI ala Hitler

Susilo Bambang Yudhoyono


Adolf Hitler


Gimana, mirip gak?. hehehehe

Jumat, 15 April 2011

Cerpen; "JENDELA" karya, Ch. Enung Martina

Setiap saat jendela itu terbuka pada jam lima pagi dan tertutup lagi pada jam enam petang. Jendela itu berada di lantai dua sebuah rumah bercat putih. Ada pohon sirsak yang menjorok ke arah samping kiri jendela dan ada pohon tanjung ke sebelah kanannya. Panorama tepat di hadapannya adalah tanah lapang yang ditumbuhi rumput dan belukar. Dari kejauhan genting berwarna merah kecoklatan berderet dari kompleks perumahan di dekatnya.
Sesekali terlihat sosok orang yang melongokkan kepala dari jendela itu. Bergantian orang yang melongok di jendela itu; seorang perempuan paruh baya, seorang remaja putra tanggung, seorang lelaki berambut gondrong, dan seorang remaja putri. Namun, kadang ada dua kepala yang melongok dari jendela itu. Sepertinya setiap kepala yang melongok di jendela itu asyik memperhatikan pemanadangan yang terhampar di hadapannya.
Tampaknya sampai jauh malam gorden belum ditutup oleh pemilik rumah itu. Terkadang masih terlihat gorden itu tak ditutup sampai jendela itu dibuka kembali. Mungkin pemiliknya lupa atau mungkin sengaja. Cahaya lampu yang membias dari kaca jendela itu terang sepertinya berasal dari lampu neon. Tak ada yang bisa dilihat lagi dari jendela itu selain orang yang melongokkan kepala dan cahaya lampu kala malam yang terpancar dari ruangan lantai dua itu.
Jendela itu tak banyak berbicara tentang penghuni di dalam rumah itu. Tak banyak informasi yang disampaikan oleh jendela itu. Aku menjadi pengamat jendela itu sudah lima bulan sejak kepindahanku ke rumah baruku di kompleks sebuah perumahan yang sekarang menjadi rumahku. Kamarku kebetulan ada di lantai dua. Ada jendela di kamarku, tetapi jendelanya mati, tak bisa dibuka atau ditutup. Sepertinya sengaja dimatikan oleh penghuni lama karena AC dipasang di ruangan itu. Karena terbuat dari kaca, aku bisa leluasa melihat ke luar dari balik kaca jendelaku.
Rumah tua itu berada tepat di belakang rumahku yang letaknya di kompleks perumahan. Rumah itu tidak berada dalam komplek. Sepertinya ia dibangun tersendiri oleh pemiliknya. Pekarangannya cukup luas jika dibandingkan dengan pekaranan rumahku. Ada kebun kecil yang ditanami aneka pohon sebagai peneduh; nangka, belimbing wuluh, belimbing buah, srikaya. sirsak, jambu batu, jeruk nipis, kantil, dan tanjung. Rumah itu nampak teduh dengan naungan berbagai pohon yang sudah cukup besar. Rumahnya tidak terlalu besar, bahkan bisa dibilang kecil.
Tak ada jalan yang menghubungkan rumahku dengan rumah itu, kecuali harus memutar jauh ke depan komplek, keluar dulu dan menyusuri jalan raya, baru berbelok ke kiri menuju jalan kampung kira-kira tiga kilo meter. Itu kata pembantuku yang berasal dari kampung sekitar komplek rumahku. Aku sendiri belum mencoba berpetualang untuk mengunjungi rumah itu.
Aku penasaran dengan rumah itu karena rumah itu begitu asri dan hidup. Kadang terdengar suara kendaraan yang datang an pergi di gang yang menuju rumah itu. Tak banyak tetangga dekat rumah itu, hanya ada dua rumah di sebelah kanannya dan di belakannya ada warung tegal dan warung kelontong. Rumah itu tepatnya menghadap ke barat, ke tembok pembatas koplek perumahannku. Di sebelah kirinya tanah lapang yang dibiarkan ditumbuhi rumput liar dan belukar.
Jendela yang kuceritakan di atas berada di sebelah kiri rumah itu. Sebetulnya ada dua jendela lain yang persis menghadap ke barat, hanya tidak kelihatan karena tertutup dengan rimbunnya pepohonan. Pintu utama di lantai satu menghadap ke barat juga, menghadap tembok pembatas. Tembok pembatas itu sepertinya sudah tidak kelihatan lagi karena aneka tanaman menutupinya. Dari jendela rumahku ini tak kelihatan karena aneka tanaman menyamarkannya.Namun, suara orang tertawa dan berbicara serta anjing yang menggonggong kerap terdengar. Bahkan sepertinya di bawah keridangan pohon dekat tembok pembatas itu ada bangku untuk duduk-duduk. Kerap juga tercium asap rokok para pria yang kongko di bangku itu.
Aku tertarik pada jendela sebelah kiri di lantai dua itu karena aku bisa mengintip aktivitas penghuninya yang kerap melongokkan kepala mereka dari jendela itu. aku jadi tahu sepertinya rumah itu dihuni oleh empat orang; ayah yang berambut gondrong, ibu perempuan separuh baya, anak remaja putri, dan anak remaja putra. Secara resmi aku belum berkenalan dengan keluarga pemilik rumah itu, tetapi sepertinya aku sudah mengenal sedikit-banyak mereka dari jendela dan suara-suara yang kudengar dari balik tembok pembatas komplek. Bahkan aku merasa lebih mengenal tetangga jauh di belakang komplekku daripada tetangga kiri kanan di dalam komplekku.
Keluarga yang rumahnya dekat, tetapi tak terjangkau itu mengingatkanku pada keluarga bahagia. Keluarga yang belum pernah kumiliki. Aku seorang perempuan berusia 38 tahun, sudah menikah, tidak dikarunia anak karena kandunganku dua-duanya sudah diangkat. Suamiku bekerja pada perusahaan pelayaran asing yang dua minggu dalam sebulan berangkat berlayar. Bila suamiku pergi aku sendirian hanya ditemani seekor anjing dan seorang pembantu. Aku juga bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang properti. Ayah ibuku bercerai ketika aku SMP. Aku tinggal bersama kakek-nenek di Ungaran. Ibuku di Medan ikut suaminya, ayahku di Jakarta dengan istri dan anak-anak tirinya dan juga anak-anak dari hasil perkawinan mereka, berarti adik-adik seayahku.Karena itulah jendela itu mengingatkanku pada gambaran keluarga utuh dan bahagia seperti iklan layanan masyarakat Keluarga Brencana.
Aku menjadi betah tinggal di ruamhku sendiri bila memandang jendela itu. Ada perasaan bahagia yang bisa aku serap dari sana. Seolah jendela itu memancarkan energi cinta dari orang-orang yang berada di dalamnya. Aku jadi ingin punya anak yang bisa aku cintai. Anak kandung? Itu mustahil. Karena itu aku bertekad akan memberanikan diri minta pada Ray, suamiku untuk mempertimbangkan mengambil anak. Mengadopsi anak? Pikiran gila dari mana itu? Gara-gara aku terlalu larut memandang jendela itu, pikiranku jadi ngelantur.
Namun, anehnya waktu Ray pulang, aku mencoba membicarakan ide gilaku itu. Aku kira dia bakal menertawakanku. Malah ia berbalik memelukku begitu mesra. Apa lagi ini? Hingga larut malam kami berbicara tentang ide itu. Berbagai cara, tempat, dan orang yang bisa membantu proses itu kami bicarakan. Kasihan Ray, lelakiku satu ini. Ia tak bisa menunjukkan pada dunia tentang betapa hebatnya dia dengan menghamili istrinya. Aku juga heran kenapa ia mau dengan aku perempuan mandul yang rahimnya sudah tak ada artinya ini. Barangkali ia mencintaiku? Entahlah…Tapi ia tak pernah mengucapkan kata-kata cinta kepadaku. Tidak seperti Ari kekasihku yang dulu yang kepadanya kuserahkan seluruh jiwa ragaku. Ia selalu mengucapkan kata-kata cinta yang sangat memabukkan hingga tak kutahu bahwa aku sudah jatuh dalam perangkap pesonanya. Betapa gobloknya aku diperdaya dia! Hingga akhirnya kutahu bahwa ia pergi membawa hatiku yang terkoyak bersama seorang gadis pilihannya yang lain untuk mengarungi biduk perkawinan mereka di negri jiran, Malaysia.
Ray kembali berlayar. Sebualan lagi ia baru pulang. Tekad kami sudah bulat untuk mengadopsi anak. Ketika aku tanya kiri kanan tentang niatku ini, ternyata banyak pihak yang mendukung. Salah satu teman kantorku memperkenalkanku pada seorang biarawati Katolik di gerejanya yang bertugas mengelola panti asuhan.
Setiap sore aku mematung memandang jendela itu. Rasanya gambaran mempunyai seorang anak segera berkelebat dalam hayalku. Jendela itu memberiku inspirasi lain untuk mengambil anak perempuan saja. Ray mau anak perempuan. Aku mau anak laki-laki. Ray bilang anak laki-laki suka nakal nanti aku kewalahan. Memangnya anak perempuan nggak bikin pusing juga? Menurut pengamatan dan pendengaran dari cerita teman-teman kantor katanya anak perempuan dan laki-laki sama saja. Aku mau ambil anak perempuan biar Ray senang. Ia kan sudah mendukungku.
Sore ini ada yang lain. Hari cerah begini, mengapa jendela itu tidak buka? Apakah orangnya pergi ke luar kota? Tak mungkin ini kan bukan musim liburan. Kenapa lampu dari dalam rumah belum dinyalakan, padahal sudah remang-remang begini? Sepertinya penghuninya tak ada. Senyap. Aku melongokkan kepalaku untuk melihat keadaan rumah itu. Tak banyak menolong karena tak bisa mendapatkan informasi yang akurat. Niatku untuk mencari inspirasi mencari nama untuk calon anakku jadi kuurungkan.
Hari ini kuputuskan untuk mengunjungi tetangga belakang rumahku. Ini hari Sabtu, aku libur. Aku mengajak Yunah, pembantuku. Kami sengaja naik ojek yang beroprasi ke jalur itu. Agak sukar menanyakan siapa pemilik rumah itu karena aku tak tahu siapa keluarga ini. Dengan berbekal petunjuk letak rumah, tukang ojek akhirnya berhasil membawa kami ke rumah itu. Mengapa sepi? Sepertinya tidak seramai dan sehangat seperti yang kudengar dari balik tembok pembatas. Siang begini kenapa lampu teras masih menyala? Kenapa anjingnya tidak mengonggong?
Aku ketuk-ketuk pagar rumah itu. Tak ada sahutan. Sepertinya rumah ini kosong. Aku coba sekali lagi. sia-sia. Akhirnya Yunah menanyakan ke tetangga sebelah kanan yang jaraknya sekitar 50 meter dari rumah itu. seorang ibu kira-kira berumur 60 tahun menghampiriku dengan tersenyum.
“ Ibu siapanya pak Ridwan?” Ia bertanya.
“ Saya familinya,” aku berbohong. Namanya Ridwan. Baru aku tahu sekarang.
“Pak Ridwan nggak ngasih khabar kalo mau pindah?”
“O, jadi pindah.”
“ Betul, Bu. kembali ke Tasik karena Pak Ridwan baru kena PHK,”
“Kembali ke sini lagi?’
“Sepertinya tidak, rumahnya sudah terjual.”
Sejak itu aku tak pernah lagi melihat jendela di sebelah kiri rumah itu terbuka dari jam 5 pagi sampai jam 6 petang. Juga tak terlihat kepala-kepala yang melongok dari jendela itu memandang ke luar. Gongongan anjing dan suara-suara tawa dan obrolan pun menghilang. Yang terdengar hanya sesekali suara mobil keluar masuk dan pintu pagar dibuka-tutup. Sepi semakin menggelayut di sekitarku. Sepi itu semakin menukik masuk ke relung hatiku. Aku sungguh terlambat untuk mengenal mereka, keluarga Ridwan yang menginspirasiku tentang arti keluarga.
Akan kuusir kesepianku dengan menghadirkan suara tawa dan tangis di rumah ini. Aku jadi tak sabar menantikan Ray pulang. Seminggu lagi ia akan pulang. Aku tak pernah melongokkan kepalaku ke arah jendela itu lagi karena sekarang tak pernah terbuka. Terbersit harapan untuk keluarga kecilku yang akan kubangun dengan calon anakku dan Ray suamiku, menjadi keluarga bahagia seperti keluarga Pak Ridwan. Siapakah istri dan anak-anaknya? Sungguh terlambat aku mengenal mereka. Namun, biarlah doaku untuk keberhasilan dan kebahagiaan keluarga Ridwan yang sudah mendatangkan gambaran manis padaku tentang makna keluarga. Aku juga bertekad akan membangun keluarga Raymondus Hartono dan Irene Shantika serta anak (mungkin juga anak-anak) menjadi keluarga bahagia. Bahagia? Siapa takut!

Anekdot; "Atlet Berlari dikejar Serdadu" karya GusDur

Hampir tak ada negara yang rela ketinggalan mengikuti Olimpiade . Acara empat tahunan itu merupakan salah satu cara promosi negara masing-masing. Dan tentu saja , peristiwa ini juga sangat bergengsi karena acara ini diliput oleh semua media massa negara peserta. Wajarlah kalau setiap negara berusaha mengirimkan atlet terbaiknya, dengan harapan mereka bisa mendapatkan emas. Begitulah sambutan Gus Dur saat melepas tim Indonesia ke Olimpiade Sidney yang baru lalu.
Gus Dur lalu bercerita tentang peristiwa yang pernah terjadi di Suriah. Pada waktu Olimpiade beberapa tahun yang lalu, tuturnya, kebetulan pelari asal Suriah merebut medali emas. Sang pelari mampu memecahkan rekor tercepat dari pemenang sebelumnya, bahkan selisih waktunya pun terpaut jauh.
Maka, dia langsung dikerubuti wartawan karena punya nilai berita yang sangat tinggi.
“Apa sih rahasia kemenangan anda?” tanya wartawan.
“Mudah saja,” jawab si pelari Suriah, enteng, “Tiap kali bersiap-siap akan start, saya membayangkan ada serdadu Israel di belakang saya yang mau menembak saya.”

Puisi; "LARUT MALAM SUARA SEBUAH TRUK" karya Taufik Ismail

1946 : LARUT MALAM SUARA SEBUAH TRUK
Oleh :
Taufiq Ismail


Sebuah Lasykar truk
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
'Sudah Bebas Negeri Kita'
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun terjaga :

'Ibu, akan pulangkah Bapa,
dan membawakan pestol buat saya ?'
(1963)

Artikel lepas; "27 Fakta Tentang Hitler yang pemalu"



1. Bercita-cita jadi seorang Pelukis/Seniman. Tetapi Ayahnya ingin dia jadi Pegawai Negeri sehingga dia dipukuli terus menerus dan dimasuki ke sekolah akademik dan bukan seni.
2. Ibunya selalu menginginkan yang terbaik buat Hitler dan memberikan kasih sayang yang besar untuk Hitler. Ibunya selalu memeluk Hitler sehabis dipukuli ayahnya dan Sepanjang hidupnya Hitler selalu membawa foto ibunya didalam sakunya sampai akhir hayatnya.
3. Hitler sebenarnya anak yang pandai di sekolah tetapi dia tidak suka sekolah akademis dan lebih ingin masuk sekolah seni. Akhirnya dia malas – malasan dan rapornya mendapatkan nilai jelek. Ayahnya sangat marah kepadanya dan memukulinya habis – habisan. Hitler memutuskan meninggalkan sekolah pada usia 15 tahun dengan mendapat dukungan ibunya, dia memutuskan mengadu nasib ke Wina untuk hidup sebagai seorang seniman.
4. Ikut test buat bea siswa di Universitas seni di Wina, tetapi profesor yang mengujinya bilang dia lebih cocok jadi Arsitek dibanding Seniman. Sialnya dia tidak diterima karena dia tidak punya pendidikan Tekhnik yang dibutuhkan.
5. Menjadi gelandangan selama 5 thn, hidup di rumah kumuh di Wina, tinggal bersama keluarga Yahudi dalam sebuah rumah sempit dengan 6 orang lainnya.
6. Menjadi pelukis jalanan dan menerima makanan sumbangan dari Gereja. Karena kasihan dengan Hitler, seorang Yahudi yang berbisnis jual beli barang seni bernama Max Rothman mengambil Hitler sebagai pegawainya. Dia ditugaskan melukis untuk kartu pos dan mendapatkan upah minimum.
7. Ketika PD 1 pecah, dia menjadi Sukarelawan pasukan Bavaria (Prusia) walaupun dia sebenarnya WN Austria dan bukan Jerman. Dia sebelumnya melamar masuk menjadi prajurit Austria tetapi di tolak karena tidak lolos tes kesehatan, laporan kesehatan nya yang masih ada sampai sekarang menyebutkan bahwa Hitler terlalu lemah untuk membawa perlengkapan standar militer yang seberat 48 kg saat itu dan berjalan sejauh 5 km. Dia juga tidak mampu mengangkat “Riffle” gun dalam waktu yg lama. Dia juga disebutkan mengalami malnutrisi karena bertahun – tahun tidak mendapatkan gizi yang cukup.
8. Ketika Resimennya dikirim ke garis depan, mereka terkena tembakan Artileri pasukan perancis dan 600 orang hanya 32 yang selamat dan termasuk Hitler. Dia selamat karena badannya yang kecil tidak kuat membawa ransel tentara yang besar sehingga jalannya dibelakang resimennya.
9. Karena tubuhnya yang kecil dan larinya yg cepat, dia mudah melalui parit – parit pertahanan yang sesak dan sempit, Hitler ditugaskan menjadi pengirim pesan. Suatu kali paritnya diserang gas beracun, tetapi Hitler tidak berada ditempat karena sedang mengantar pesar. Dia terlambat kembali gara – gara menyelamatkan seekor anjing Herder jerman yang dibawanya bersamanya. Selamatlah Hitler dari serangan Gas beracun.
10. Hitler walaupun tidak disukai oleh sesama prajurit dan karena tubuhnya yang kecil dibandingkan rata – rata prajurit Jerman, maka dia sering menjadi bahan tertawaan. Tetapi keberaniannya diakui oleh para atasannya. Hitler menerima 6 medali tertinggi untuk keberanian yaitu The Iron Cross. Dia seringkali harus berlari menghindari tembakan senjata musuh hanya demi mengirimkan surat kepada komandan di garis depan.
11. Suatu kali juga, Hitler sedang duduk didalam kemahnya bersama prajurit yang lain, kemudian Anjing Herder itu lepas dan Hitler mengejarnya sambil jatuh bangun. Prajurit – prajurit yang lain mentertawakan kejadian itu, dan Hitler pun kesal. Akhirnya dia menyeret anjingnya keluar untuk di tembak. Sesaat setelah Hitler keluar dari tenda dan membawa Anjingnya, Artileri Berat menghantam Kemah itu dan seluruh anggota Pletonnya tewas hanya tersisa Hitler seorang saja.
12. Di akhir PD 1, dia terkena serangan gas mustard tetapi tidak menewaskan dirinya, hanya membutakan matanya sementara akibat dia telat menggunakan masker. Dia berlari kemana anjingnya menuntunnya dan kemudian tersangkut dikawat berduri. Dia selamat karena menjauhi arah hembusan angin yg membawa gas beracun.
13. Dikabarkan bahwa dokter telah mendiagnosa bahwa Hitler akan buta selamanya seperti prajurit lain yang terkena gas mustard, tetapi karena Hitler menangis terus menerus selama beberapa hari ketika mendengar kekalahan Jerman, hal ini membuat matanya yg masih dibungkus perban menjadi lembab dan ketika dokter membuka perban itu, Hitler dapat melihat.
14. Seorang Kapten atasan Hitler pada PD1 berkata bahwa Hitler tidak akan mampu memiliki karir cemerlang dibidang militer karena Hitler tidak memiliki attribut kepemimpinan dan tidak akan bisa jadi seorang pemimpin.
15. Hitler adalah seorang pemalu, walaupun dia mampu berbicara berapi-api dihadapan ribuan orang, tetapi dia memiliki kecenderungan untuk canggung berhadapan 1-1 dengan lawan bicaranya.
16. Hitler adalah seorang Vegetarian (walaupun terkadang dia makan daging, atas saran dokternya), tidak minum bir atau alkohol (hanya minum Wine sesuai saran dokternya) dan tidak merokok. Dia sangat Anti-Rokok dan dimana dia berada tidak boleh ada asap rokok, walaupun dia tidak mengeluarkan larangan untuk rokok tetapi seperti sudah diketahui umum bahwa tidak boleh merokok di tempat umum terutama di Berlin dan Munich kalo tidak mau di ciduk sama SS.
17. Hitler menawarkan sebuah jam tangan emas bagi para bawahannya yang bisa menghentikan kebiasaan merokok mereka. Ketika Hitler bunuh diri, sebagian besar perwira militer di bunkernya langsung menyalakan rokok dan menghisap rokok untuk meredakan ketegangan karena saat itu Berlin sudah dikepung tentara merah Sovyet.
18. Hitler tidak mengijinkan perburuan binatang untuk diambil bulunya, dia memerintahkan pasukan Nazi untuk menggunakan bahan sintetis sebagai selimut dan jubah musim dingin.
19. Hitler acap kali mengambarkan proses penyembelihan binatang dan proses pengolahan daging secara eksplisit dan mengajak agar orang lain tidak memakan daging dan menjadi vegetarian seperti dirinya.
20. Hitler memerintahkan martin borman untuk membuat rumah kaca khusus sebagai tempat menumbuhkan sayuran dan buah-buahan untuk di konsumsi Hitler.
21. Hitler pernah berkata bahwa Orang yang lebih dia benci dari Orang Yahudi adalah suami yang memukul Istrinya/anaknya dan menelantarkan keluarganya. Menurut Dia orang jenis ini harus di hukum mati.
22. Walaupun orang menganggapnya Diktator yg bisa berbuat apa saja, tetapi Hitler hanya memiliki uang sejumlah 180,000 Reichmark saja di dalam tabungannya. Itu semua didapatkannya dari penjualan buku dan gajinya sebagai Reichchancelor selama 12 tahun. Dia tidak pernah mengambil sepeser pun uang negara dan menkontribusikan apapun yang dia punya untuk 3rd Reichnya.
23. Hitler sangat mengagumi Mussolini dan menjadikan Mussolini sebagai Idolanya sampai dia bertemu langsung dengan Mussolini dan merubah pandangannya soal ini.
24. Hitler adalah seorang Protestant walaupun terlahir dari sebuah keluarga Catholic. Dia mengidolakan Martin Luther sebagai seorang Reformator sejati.
25. Walaupun sering digambarkan mengenakan seragam militer, Hitler tidak pernah mengenyam pendidikan militer apapun dan pangkat terakhir Hitler didalam bidang Militer adalah seorang Kopral.
26. Seragam Coklat SA dan Hitler Youth di rancang oleh Hugo Boss pada thn 1933. Dikemudian hari Hugo Boss juga mengerjakan pembuatan seragam hitam SS. Hitler sangat menyukai seragam yang dirancang Hugo Boss dan mereka mendapatkan sebagian besar kontrak pembuatan seragam Nazi.
27. Hitler menginginkan sebuah mobil “murah meriah” bagi rakyatnya, dia mengambarkan konsep mobil yg diinginkannya diatas selembar kertas tissue pada sebuah acara makan malam dan diberikan kepada Dr Ferdinand Porsche untuk membuatnya. Mobil ini dikemudian hari dikenal dengan nama VW (Volkswagen/mobil rakyat).

Rabu, 13 April 2011

Artikel lepas; "Cara memilih LapTop bekas yang baik"

1. Merek
Dalam hal ini jelas harus kita perhatikan, karena seperti yg diketahui sebuah merek sangat berarti untuk menilai ukuran kualitas dari sebuah lapptop. Yang saya sarankan yaitu belilah laptop yang sudah mempunyai kualitas baik. (Apple, Samsung, thosiba, HP, dll) alangkah baiknya sesuaikan juga dengan dana keuangan anda.

2. Fisik Laptop
Cara Memilih Laptop Bekas Yang Baik (maupun baru), perhatiakan dengan seksama bentuk fisik dari notebook tersebut. bila bekas maka periksalah casing, layar(LCD), keyboard.

3. Spesifikasi komponen notebook
Carilah laptop yg minimal Processor-nya pentium 4, karena dengan begitu kinerja lapttop akan baik. serta Memory (RAM) sebisa mungkin yang 512Mb keatas. Untuk Harddisk minimal 40Gb. Cek juga baterai dari lptop tsb, apakah ngedrop atau masih baik.

Yach mungkin itu saja sedikit himbauan atau saran yg bisa saya berikan bagi anda yang mencari Cara Memilih Laptop Bekas Yang Baik, semoga dengan begitu anda benar2 mendapatkan laptopp yg diingikan.

Puisi; "Surat cinta" karya Ws.Rendra

Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur yang gaib,
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu !

Kutulis surat ini
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku !

Kaki-kaki hujan yang runcing
menyentuhkan ujungnya di bumi,
Kaki-kaki cinta yang tegas
bagai logam berat gemerlapan
menempuh ke muka
dan tak kan kunjung diundurkan
Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta
Wahai, dik Narti
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan
Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu:
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain…
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa

Cerpen:MOKSA. karya Putu Wijaya

Telepon berdering di kamar praktik dokter Subianto. Dokter yang sedang menyanyi-nyanyi sambil memeriksa pasiennya itu, mengangkat telepon.
"Hallo, ini pasti kamu Moksa!"
"Bener, Pak."
"Kamu kan janji mau pulang. Jam begini kamu kok belum datang?"
"Moksa tidak jadi pulang."
"Lho, kenapa? Kamu bilang kamu butuh duit untuk beli kado buat teman baik kamu itu."
"Pokoknya tidak jadi. Dan Moksa tidak jadi pulang. Mau langsung ke pesta ulang tahun kawan itu."
"Lho, katanya kamu tidak punya uang untuk beli kado!"
"Udah beres!"
"Beres gimana! He Moksa, Ibu kamu minta diantarkan makan di Planet Hollywood."
"Tidak bisa Pak. Besok aja. Moksa pulang besok, Minggu."
"Tapi kamu kan butuh duit..."
"Udah ya Pak. Selamat malam Minggu sama Ibu. Besok Moksa pulang!"
"Tunggu!"
"Tidak bisa, ini coinnya sudah habis."
Telepon putus.
Dokter Subianto tertegun. Kelihatannya kesal. Dia menghampiri pasiennya dan tanpa ditanya lantas ngomong.
"Anak-anak sekarang memang lain dengan kita dulu," katanya sambil meneruskan menelusuri tubuh pasiennya dengan stetoskop.
"Kenapa, Dok?"
"Itu anak saya yang indekos di Depok supaya dekat sekolahnya, pulangnya hanya sebulan sekali. Ini ibunya sudah rindu setengah mati, tapi dia nggak jadi pulang. Padahal kemaren merengek-rengek minta uang bulanannya ditambahin 100 ribu, sebab ada kawannya yang ulang tahun. Saya bilang boleh saja, asal jelas untuk apa, tetapi harus pulang dulu! Sekarang dia tidak mau pulang. Dia cuma mau uangnya. Akibat iklan-iklan tv, anak-anak sekarang memang jadi mata duitan semuanya. Oke. Sudah. Anda sudah tokcer. Anda sudah boleh melakukan apa saja dan makan apa saja sekarang, asal jangan berlebihan seperti pejabat-pejabat yang KKN itu!"
Pasien mengucapkan terima kasih, lalu pergi keluar. Dokter Subianto kembali menggumankan lagu kegemarannya. Langgam Melayu Seroja ciptaan almarhum S. Effendie.
"Mari menyusun, bunga Seroja......"
Pintu belakang terbuka. Kepala istrinya nongol.
"Moksa nelpon ya?"
Dokter menarik napas panjang.
"Ya. Tapi dia tidak bisa pulang. Tetap saja urusannya sendiri yang lebih penting. Kita memang sudah dia tinggalkan. Ini memang nasib semua orang tua. Uang sakunya harus dikurangi lagi, supaya dia terpaksa pulang."
Istri dokter masuk. Dia tampak sangat gembira. Dokter Subianto jadi heran.
"Kenapa kamu gembira sekali, padahal kamu harusnya marah besar sebab tidak jadi ke Planet Hollywood, sebab tidak ada yang mengantar, karena aku juga tidak bisa membatalkan pertemuanku dengan dokter Faizal malam ini di rumahnya!"
Istri dokter Subianto duduk di kursi.
"Aku bisa ke Planet Hollywood kapan saja. Tidak pergi juga tidak apa. Aku sudah cukup senang dengar apa yang diceritakan Moksa di telepon tadi."
"O jadi dia sudah menelpon kamu sebelum menelpon aku? Anak-anak memang semuanya lebih cinta kepada ibunya daripada papanya."
"Bukan begitu. Dia tahu kamu lagi praktek, jadi dia ceritakan saja kepadaku. Nah sekarang aku menceritakan kepada kamu."
"Apa lagi apologinya kali ini?"
"Bukan apologi."
"Apa lagi rayuannya kali ini supaya kamu tidak marah dan menyediakan duit 100 ribu besok, karena dia sudah pinjam dari temannya, sebab itu memang lebih praktis daripada pulang naik bus yang kumuh, sesak dan panas. Ah anak-anak sekarang memang sulit dilatih prihatin. Maunya enak. Ini gara-gara gaya hidup wah yang sudah dipompakan oleh televisi dan majalah-majalah wanita!"
Istri dokter Subianto tersenyum saja. Sekali ini ia tidak mencoba mendebat suaminya. Ia menunggu sampai lelaki itu tenang. Lalu sambil tersenyum bangga ia bercerita.
"Anakmu Moksa sudah melakukan sesuatu yang amat mengharukan hari ini," kata wanita itu dengan mata berkaca-kaca. "Dia sama sekali tidak meminjam uang temannya untuk beli kado. Tapi dia berusaha dengan cucur-keringatnya sendiri. Dan kamu pasti akan terkejut kalau mendengar apa yang sudah dikerjakannya untuk mendapatkan uang."
Tiba-tiba wanita itu tidak dapat menahan emosinya. Ia menangis, tetapi bukan sedih. Tangis haru karena gembira. Dokter Sugianto jadi berdebar-debar.
"Apa lagi yang dilakukan oleh Moksa? Dia mencuri?"
Nyonya dokter berhenti menangis.
"Masak mencuri!"
"Habis apa? Kamu kok menangis?"
"Aku menangis karena terharu."
"Kenapa terharu?"
"Sebab anakmu ngamen di dalam bus!"
"Apa?"
"Ngamen!"
Dokter Subianto tertegun. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Dan tambah tak percaya lagi ketika istrinya menambahkan.
"Dan dia menyanyikan lagu Seroja kegemaranmu itu di dalam bus dengan gitarnya. Banyak orang terharu. Suaranya kan memang bagus dan main gitarnya pinter. Tak tersangka-sangka ia bisa mengumpulkan banyak, karena orang-orang itu memberinya dengan senang hati."
Dokter Subianto tak mampu bicara apa-apa. Ia ikut terharu. Anak yang selalu dikhawatirkannya sudah hampir sesat karena pergaulan metropolitan, ternyata masih lempeng. Bahkan mampu berdikari mencari duit dengan ngamen. Itu memerlukan keberanian dan ketekunan. Tidak sembarang orang akan mampu berbuat seperti itu. Itu harus dibanggakan.
Pintu kamar praktek terbuka. Zuster yang membantu mengatakan di depan masih ada satu pasien lagi hendak masuk. Istri dokter menghapus air matanya lalu diam-diam masuk ke dalam. Waktu itu dokter Subianto tak mampu menahan kucuran air matanya. Ia cepat berpaling ke sudut dan menghapus rasa haru itu.
Ketika Subianto berbalik dan berhasil menenangkan perasaannya, di depan mejanya sudah duduk pasien. Orangnya hitam kurus, pakai rompi hitam dan nampak amat kesakitan. Setelah diperiksa ternyata ia memiliki benjolan merah di dada kanannya. Dokter Subianto memperkirakan itu semacam tumor lemak. Ia cepat menulis resep.
"Dalam tiga hari, kalau tidak ada perbaikan, cepat datang lagi kemari. Mungkin memerlukan perawatan lain. Tapi kalau sudah mendingan, teruskan minum obatnya sampai habis. Ini ada 4 macam."
Subianto menyerahkan resep itu. Pasien melihat ke atas resep lalu memandang ke dokter seperti bimbang.
"Kok banyak sekali Dokter?"
"Bisa diambil separuhnya saja dulu."
"Ini kira-kira berapa Dokter?"
"Ya mungkin sekitar seratus ribu. Sekarang obat-obatan memang mahal sekali."
Lelaki itu tertegun. Dokter Subianto heran.
"Kenapa?"
"Saya tidak punya uang Dokter. Bahkan saya juga tidak punya uang lagi untuk bayar Dokter. Tadi di dalam bus waktu kemari, saya ketemu dengan seorang anak muda. Kelihatannya lagi susah. Karena ia duduk di samping saya, saya tanyakan apa sebabnya. Ia mengatakan bahwa ia tidak punya uang untuk beli kado, buat teman baiknya. Saya katakan kepada dia, bahwa kado itu bukan tujuan dari ulang tahun. Kita datang dengan tangan kosong dengan hati bersih saja sudah cukup. Dia termenung mendengar apa yang saya katakan. Lalu saya menceritakan banyak hal, panjang lebar, karena saya lihat dia begitu sungguh-sungguh mendengarkan. Waktu turun, dia mencium tangan saya dan mengucapkan terima kasih. Saya tanyakan siapa namanya dan siapa orang tuanya. Tapi dia tidak mau menjawab. Namun saya yakin karena suaranya, tubuhnya, dan gerak-geriknya juga hidungnya anak itu....... anak Dokter. Maaf, Dokter punya anak yang tinggal di daerah Depok, bukan?"
Dokter Subianto terkejut.
"Ya, anak saya Moksa, indekos di situ."
"Dia memiliki tahi lalat di mata kanannya?"
"Ya betul."
"Maaf, kalau tidak salah, kidal?"
"Betul."
Pasien itu termenung. Ia kelihatan susah ngomong.
"Kenapa? Bapak kesakitan?"
Pasien itu seperti tak mendengarkan kata dokter, dia terus bercerita.
"Waktu saya mau bayar bus, saya baru sadar, dompet saya sudah hilang. Semua uang saya untuk berobat ada di dalamnya. Saya bingung. Tapi karena sakitnya bukan main, saya teruskan saja kemari. Jadi begitu Dokter. Maaf, apa saya bisa membayar Dokter lain kali saja?"
Dokter Subianto tercengang.
"Jadi, anak saya itu sudah mencopet Bapak?"
"Anak Bapak? Benar dia anak Dokter?"
"Maksud saya, anak itu. Anak itu sudah mencopet Bapak?"
"Saya tidak tahu. Mungkin tidak."
"Berapa isi dompet Bapak?"
"Seratus ribu."
Dokter Subianto termenung beberapa lama. Kemudian dia bergegas membuka laci mejanya. Mengeluarkan 100 ribu dan memberikan kepada orang itu.
"Ini. Tebuslah resep itu."
Orang itu tercengang. Nampak agak malu.
"Pak Dokter meminjami saya uang?" tanyanya seperti tidak percaya.
Dokter Subianto menggeleng. Ia mengajak orang itu ke pintu.
"Tidak. Bapak tidak perlu mengembalikan, pakai saja uang itu untuk menebus resep. Saya justru minta maaf atas kelakuan anak saya. Moksa memang nakal. Saya akan memberi dia peringatan keras. Sekali lagi minta maaf. Kalau ada yang perlu saya bantu, datang saja jangan ragu-ragu."
Dokter Subianto membuka pintu dan mempersilakan.
"Selamat malam."
Orang itu nampak seperti merasa bersalah. Ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi Subianto cepat menutup pintu. Lalu menjatuhkan badannya di kursi sambil memukul meja.
"Bangsat!"
Untung tidak ada pasien lagi. Konsentrasi Subianto sudah buyar. Begitu selesai praktek, ia menceritakan secara sekilas apa yang sudah terjadi pada istrinya. Tanpa mendengarkan komentar istrinya, ia langsung masuk ke mobil, menuju ke rumah pondokan Moksa di Depok.
Subianto terpaksa menunggu di ruang tamu, karena Moksa baru saja berangkat ke pesta. Ia menghabiskan 5 gelas teh, karena perasaannya tak menentu. Tengah malam Moksa baru muncul. Anak itu juga nampak heran melihat papanya sudah menunggu.
"Kan saya bilang besok pulangnya, Pak?"
Subianto menyembunyikan kemarahannya dengan senyuman.
"Ibumu tidak bisa menunggu sampai besok. Kamu harus pulang sekarang."
Moksa terpaksa ikut. Dengan muka agak mengantuk, ia duduk di mobil di samping bapaknya. Ketika ia hampir saja tertidur, bapaknya mulai bicara.
"Bapak dengar kamu sudah ngamen tadi untuk dapat beli kado."
"O Ibu udah cerita?"
"Ya. Dapat berapa?"
"Lumayan. Yang penting kan bukan kadonya tetapi kehadirannya."
"Jadi kamu menyanyikan lagu Seroja di dalam bus?"
Moksa tersenyum.
"Bener kamu menyanyikan lagu Seroja?"
"Ya bener dong, masak tidak."
Subianto mengangguk.
"Di antara yang memberi kamu uang, ada lelaki pendek hitam dan memakai rompi hitam?"
Moksa mengerling.
"Kok Bapak tahu?"
"Ibu kamu menceritakan semuanya."
"Tapi Moksa tak menceritakan tentang orang itu."
"O ya?"
"Moksa hanya bilang, orang-orang di dalam bus itu heran sebab Moksa ngamennya lain. Kok pakai lagu Seroja. Mereka tertarik dan menanyakan apa Moksa pengamen betulan? Moksa jawab tidak. Cuma iseng. Kebetulan kurang duit buat beli kado untuk temen. Ee tahunya semua pada bersimpati, lalu ngasih. Kecuali Bapak itu."
"Bapak yang mana? Yang pakai rompi hitam?"
"Bapak kok seperti paranormal, tahu aja. Ya, dia pakai rompi hitam. Dia paling menikmati lagu Moksa tapi nggak mau ngasih duit."
"O ya? Dia tidak ngasih apa-apa?"
"Nggak. Nggak ngasih apa-apa. Tapi untuk menghargai perhatiannya pada lagu Moksa, Moksa menyanyikan lagu itu sekali lagi khusus untuk dia. Lalu dia memanggil Moksa. Katanya, itu lagu nostalgianya. Moksa juga bilang itu lagu nostalgia Bapak. Lantas dia nanya siapa sebenarnya Moksa. Ya Moksa terus terang saja, Moksa ini anak dokter Subianto. Dia manggut-manggut. Dia terus mendesak supaya Moksa mnceritakan tentang Bapak. Ya Moksa cerita seadanya saja, semuanya. Lama juga kami ngobrol. Kami salam-salaman sebelum pisah. Moksa terus ngamen sampai capek, karena rasanya enak dapat uang karena cucur keringat sendiri, makanya kagak jadi pulang."
Dokter Subianto tertegun. Ia menghentikan mobil.
"Kenapa Pak? Ngantuk?"
Subianto menggeleng.
"Nggak. Aku hanya terkejut."
"Kenapa?"
"Karena Bapak kira Bapak ini cerdik, ternyata dengan gampang ditipu orang."
"Ditipu bagaimana?"
"Dikerjain. Melayang seratus ribu rupiah dalam sekejap!"
"O ya? Kok bisa?"
Dokter Subianto menarik napas panjang, lalu menceritakan apa yang sudah terjadi di kamar praktek sore itu. Moksa mendengar dengan penuh perhatian.
"Jadi orang itu datang ke ruang praktek Bapak?"
"Ya. Karena dia tahu data-data kamu, dia datang dengan begitu meyakinkan. Dia menjual cerita bohong dengan begitu lihai, sehingga Bapak kehilangan 100 ribu. Habis dia bilang, dia tergugah mendengar cerita kamu. Masak anak dokter kok ngamen. Lalu dia mengeluarkan uang dari koceknya dan memberi kamu 100 ribu. Padahal uang itu mestinya untuk beli obat. Bapak jadi merasa tak enak. Akhirnya Bapak terpaksa mengganti 100 ribunya. Dia berhasil menipu Bapak dengan mempergunakan data dari kamu. Itu pasti penjahat profesional. Sebelum melakukan kejahatannya, dia pasti sudah menyelidiki kita. Dia tahu siapa kamu dan siapa Bapak. Kalau tidak, dia tidak akan berhasil menipu dengan selicin itu. Dunia ini sudah penuh dengan kejahatan sekarang. Bapak harus lebih waspada sekarang. Kamu juga harus hati-hati."
Moksa terdiam. Ia nampak memikirkam dalam-dalam. Lalu Subianto menghidupkan mesin kembali. Mobilnya meluncur seperti kesetanan. Di rumah ia hampir saja menubruk pagar.
Istri dokter Subianto memeluk Moksa begitu mereka sampai.
"Kamu anak hebat. Ternyata kamu bisa mandiri, kalau kamu mau. Ibu bangga sekali pada kamu!"
Subianto cepat-cepat pergi ke kamar studinya. Kalau sedang senewen, ia suka tidur di situ menyepi. Tanpa salin pakaian, ia berbaring. Kecewa karena merasa sudah gagal mendidik anak. Ia menyesali dirinya karena terlalu sibuk. Kenapa ia dulu memilih jadi dokter, padahal ia tahu dokter sepanjang hari sibuk, tak akan sempat memperhatikan anak. Mestinya dia jadi seniman saja, supaya bisa menemani anak 24 jam. Mestinya ia tidak membiarkan Moksa indekos di Depok, supaya bisa diawasi terus. Sekarang sudah terlambat.
"Kini sudah waktunya. Aku harus, harus, harus, harus bicara pada Moksa secara blak-blakan, serius, dan keras. Kalau tidak, akan terlalu terlambat!" bisiknya dengan geram.
Sampai subuh, Subianto tak bisa memincingkan matanya. Tapi baru saja lelap sebentar, istrinya muncul membangunkam. Ternyata hari sudah pukul sebelas siang.
"Moksa sudah menunggu kamu sejak tadi. Dia ingin bicara. Kelihatannya serius sekali," kata istrinya.
Subianto duduk lalu memberi isyarat supaya Moksa disuruh masuk. Perempuan itu berbalik lalu memberi isyarat pada anaknya yang sudah sejak tadi menunggu di pintu. Dengan anggukan rahasia Subianto minta supaya istrinya pergi.
"Selamat siang, Pak. Bapak nggak ke kantor?"
"Selamat pagi Moksa. Bapak kurang enak badan. Kamu mau bicara dengan Bapak?"
"Ya."
Subianto memandangi Moksa tajam.
"Apa lagi? Mau menuntut kenaikan uang saku?"
"Tidak."
"Tidak? Lalu apa?"
Moksa terdiam.
"Ada apa Moksa?"
Moksa menunduk. Setelah diam beberapa lama, ia berbisik. Suaranya hampir tidak kedengaran.
"Pak, kenapa Bapak percaya pada Moksa?"
Giliran Subianto yang terkejut.
"Maksudmu apa?"
"Kata Bapak, Bapak sudah ditipu oleh pasien yang mengaku memberi Moksa uang seratus ribu itu!?"
"Betul."
"Berarti, Bapak percaya pada Moksa, dong!"
Subianto terdiam. Dadanya berdetak keras.
"Kenapa Bapak tidak percaya kepada orang itu?"
Subianto mengalihkan pandangan. Itu pertanyaan yang sulit.
"Kenapa Pak?"
Subianto menghela napas.
"Karena kasihan?"
"Tidak. Kenapa kasihan?"
"Kalau begitu kenapa?"
"Karena aku percaya kepada kamu, Moksa."
Moksa termenung beberapa lama.
"Jadi Bapak lebih percaya kepada Moksa?"
"Ya dong!"
"Jadi masih percaya?"
Subianto menarik napas.
"Ya dong! Kenapa tidak?"
Moksa menunduk. Tiba-tiba ia menangis. Subianto sangat terkejut. Tapi ia berusaha menahan perasaannya.
"Kamu menangis Moksa?"
Moksa mengangguk. Ia berusaha menahan isakannya.
"Kenapa kamu menangis?"
"Moksa malu, Pak."
"Malu? Kenapa?"
"Malu, karena Bapak masih percaya kepadaku."
Subianto terdiam. Moksa memaksa dirinya berhenti menangis. Lalu ia memandangi bapaknya.
"Moksa jadi malu sekali, sebab Bapak masih percaya pada Moksa. Beri Moksa kesempatan satu kali lagi Pak. Moksa akan mengubah semuanya ini. Bapak mau memberi Moksa kesempatan?"
Subianto bingung. Ia tidak tahu apa yang lebih baik. Menjawab ya atau tidak. Akhirnya ia menjawab, seperti orang yang bingung.
"Tak ada yang harus dimaafkan. Kalau kamu nanti besar dan sudah punya anak, kamu akan tahu sendiri, di dalam keluarga tidak ada maaf, semuanya sudah diselesaikan dengan sendirinya. Karena kepada siapa lagi kita bisa berbuat kesalahan kecuali kepada orang tuamu yang menyayangimu?!"
Moksa nampak semakin tertikam. Tapi kemudian ia berdiri dan menghampiri bapaknya. Memegang tangan orang tua itu, lalu menciumnya.
"Maap Pak."
Subianto tambah bingung. Ia mengangkat tangan dan mengusap kepala Moksa. Anak itu menangis kembali.
"Terima kasih, Bapak masih percaya kepada Moksa. Tidak ada yang lebih berharga dari kepercayaan Bapak buat Moksa. Moksa akan berusaha baik lagi, Pak. Moksa pergi sekarang, Pak, ada banyak PR. Moksa tidak mau ketinggalan lagi. Jangan katakan sama Ibu, ya Pak!"
Subianto mengangguk, lalu membarut kepala Moksa. Kemudian mencium kening anak yang cakep tapi badung itu. Moksa menangis lagi. Ia memeluk bapaknya erat-erat, kemudian cepat-cepat hendak pergi ketika terdengar suara pintu terbuka. Tapi ibunya keburu masuk.
Istri Subianto yang masuk karena mendengar suara tangis, terkejut karena tiba-tiba anak itu memeluk.
"Ibu, Ibu punya seorang suami yang hebat. Moksa ternyata punya Bapak yang hebat. Moksa balik dulu sebab banyak urusan. Nanti Moksa nelpon lagi. Kapan-kapan Moksa anterin Ibu ke Planet Hollywood. Moksa yang akan traktir dengan hasil ngamen."
Tak menunggu jawaban, Moksa mencium pipi ibunya, lalu bergegas keluar. Wanita itu hendak memburu keluar, tetapi Subianto memberi isyarat.
"Jangan, biar saja dia pergi."
Perempuan itu bingung.
"Tapi, kamu kemaren bilang, ini sudah terlalu berbahaya."
Subianto menggeleng.
"Kita harus memberi dia kepercayaan."
"Tapi...mungkin dia perlu uang!"
Subianto menggeleng.
"Kepercayaan adalah segala-galanya. Itu lebih penting dari uang!"
Wajah perempuan itu nampak semakin bingung. Ia mendekati suaminya, lalu mengembangkan tangannya. Di atas tangan itu Subianto melihat bungkusan plastik dengan bubuk jahanam.
"Aku temukan ini di kamar mandi. Moksa pasti kelupaan."
Dokter Subianto bergetar melihat barang-barang jahanam itu. Tetapi ia mencoba tenang. Hanya saja matanya tidak kuat. Nampak tetes air mata dari kedua mata yang sudah banyak diterpa kesedihan itu.
"Kita harus percaya dan menyerahkan dirinya kepada dirinya. Dialah yang paling bisa menjaga dirinya sendiri. Kita harus berhenti jadi polisi dengan memberinya kepercayaan. Inilah harapan kita sekarang, setelah semuanya gagal!" bisiknya sambil mencampakkan benda laknat yang sudah menghancurkan Moksa itu.
"Kita lawan semua ini dengan kepercayaan."
"Tapi apa bisa hanya dengan kepercayaan, Pa? Moksa sudah parah!"
"Kamu kira aku percaya pada semua ini? Tidak, Bu. Aku juga tidak percaya. Tapi kita harus percaya. Kita harus percaya Moksa akan bisa melawan itu semua. Dengan memberinya kepercayaan kita akan membantu ia keluar dari persoalannya. Harus, betapa pun kita tidak percayanya. Harus Bu!"
Istri Subianto terdiam, sementara Subianto sendiri berusaha melawan dirinya sendiri. Ia tahu kepercayaan itu baru bisa bekerja, kalau dia sendiri juga terlebih dahulu percaya. ***

Anekdot; 3 Pilot dan Suku kanibal

Pada perang dunia ke dua tiga pesawat Belanda jatuh di pedalaman Afrika. Ketiga pilot itupun akhirnya disandera oleh warga setempat yg kebetulan  adalah ‘head hunter’. Mengetahui hal tersebut, ketiga pilot yg takut tersebut memohon agar tidak dibunuh.
Maka kepala suku setempat berkata;
“Kalo kamu semua masih mau hidup, kalian harus pergi ke hutan dan bawa kembali SEPULUH buah yg jenisnya sama. Tapi kalian hanya mendapatkan waktu tiga jam!”
 Dengan sangat cepat ketiga pilot itupun akhirnya lari ke hutan untuk mencari buah-buahan.
Setelah dua jam pilot pertama pun akhirnya datang membawa sepuluh buah apel.
Kepala Suku: “Baik kamu telah membawa 10 buah apel. Sekarang masukkan semua apel itu melalui lobang pantat kamu satu persatu. Kalau kamu merintih, atau membuat suara, kamu akan saya potong-potong jadi sate!!”
Dengan perlahan-lahan sang pilot mencoba memasukkan apel pertama tanpa merintih. Dengan penuh perjuangan dan ketahanan akhirnya apel pertama bisa dia masukkan. Namun di apel yg ke dua ia tidak bisa menahan sakit dari anusnya, dan seraya merintih. Dengan kejam sang kepala suku memenggal kepala sang pilot. Maka naiklah ia ke surga.
Pilot kedua datang membawa 10 buah lengkeng. Dan kepala suku memeberikan instruksi yg sama kepada sang pilot. Dalam hati,
 “Yah kalo lengkeng sih gampang!”
Dan memang betul. Satu lengkeng masuk, dua lengkeng, tiga lengkeng… tapi pada saat ia memasukkan lengkeng yg ke sepuluh sang kepala suku tiba-tiba memotong kepalanya.
Saat pilot 2 naik ke surga ia bertemu dengan pilot 1.

Pilot 2: “Wah kamu mati juga ya?”

Pilot 1: “Iya aku bawa apel sih. Kan sakit! Ah, monyet tu kepala suku, syaratnya berat banget! Trus kamu bawa buah apa?”

Pilot 2: “Lengkeng.”

Pilot 1: “Lengkeng? Itu kan gampang, kecil, gak sakit lagi!”

Pilot 2: “Emang betul. Semua lengkeng hampir aku masukkan semua ke dalam lobang pantat. Tapi ya itu, tiba-tiba aku tertawa dan semua lengkeng yg aku sudah masukkan keluar semua….”

Pilot 1: “Bego kamu! Kog ketawa?”

Pilot 2: “Habis pas mau masukin lengkeng no.10 aku liat Pilot 3 bawa DUREN !”

Pilot 1: “??????????”